Warta Kaili – Emma Raducanu kembali harus menelan kekalahan menyakitkan setelah gagal memanfaatkan peluang emas di China Open.
Seperti dilansir dari the Guardian, dalam laga babak ketiga yang berlangsung di Beijing, Senin (29/9), petenis Inggris berusia 22 tahun itu sebenarnya sudah berada di ambang kemenangan melawan Jessica Pegula, petenis peringkat tujuh dunia.
Namun, alih-alih menutup laga dengan manis, Raducanu justru tumbang 3-6, 7-6(9), 6-0 setelah membuang tiga match point.
Raducanu tampil percaya diri sejak awal pertandingan. Variasi pukulan, slice backhand yang mengganggu ritme lawan, serta kemampuan bertahan yang rapi sempat membuat Pegula frustrasi.
Pada set pertama, Raducanu berhasil mengambil kendali permainan, mematahkan servis lawan, dan menutup dengan skor 6-3. Dukungan dari publik Beijing juga menambah semangatnya, mengingat ini adalah debutnya di level tur WTA di negara asal sang ibu, Renee.
Namun, titik balik terjadi pada set kedua. Pegula yang sempat tertekan mulai menemukan akurasi pukulannya. Meski begitu, Raducanu mampu meladeni pertarungan sengit, bahkan sempat unggul 5-2 di tie-break.
Ia pun memiliki tiga kesempatan match point, tetapi Pegula menunjukkan kelasnya dengan dua winner backhand menakjubkan dan sebuah forehand yang memaksa error dari Raducanu.
Kesalahan terbesar justru datang saat Raducanu melakukan double fault pada kedudukan 5-4. Momen itu seolah menjadi pintu masuk bagi Pegula untuk bangkit.
Setelah kehilangan set kedua dengan skor 7-6(9), Raducanu terlihat kehilangan energi dan konsentrasi. Intensitas permainannya merosot drastis di set penentuan.
Pegula dengan mudah menguasai jalannya laga hingga menang telak 6-0. Kekalahan ini menjadi deja vu pahit bagi Raducanu, sebab hanya 11 hari sebelumnya ia juga gagal mengamankan dua match point saat kalah dari Barbora Krejcikova di Seoul.
Bagi banyak pemain, menyia-nyiakan match point adalah bagian dari perjalanan profesional. Namun, yang paling mengkhawatirkan dari Raducanu adalah pola kekalahan yang sama dalam waktu singkat.
Kurangnya ketahanan mental saat berada di titik krusial bisa menjadi PR besar yang harus segera ia atasi. Apalagi, dengan statusnya sebagai petenis nomor satu Inggris, sorotan publik akan semakin tajam.
Turnamen ini sebenarnya memiliki arti penting bagi Raducanu. Setelah hampir dua bulan berlatih dengan pelatih barunya, Francisco Roig, peningkatan dalam teknik dan variasi permainan cukup terlihat.
Sayangnya, hasil akhir di Beijing justru menjadi salah satu pukulan terberat dalam karier mudanya. Dari Beijing, ia dan timnya harus mengevaluasi bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal mentalitas saat menghadapi tekanan.
Di sisi lain, kabar baik datang dari petenis Inggris lain, Sonay Kartal. Petenis peringkat tiga Inggris itu berhasil melaju ke babak keempat setelah menyingkirkan Maya Joint dari Australia dengan skor 6-3, 6-2.
Kartal, yang sebelumnya kesulitan pasca penampilannya di Wimbledon, kini menemukan kembali performa solidnya. Ia selanjutnya akan berhadapan dengan unggulan keempat, Mirra Andreeva.
Turnamen di Beijing juga menampilkan dominasi dari nama besar lain. Iga Swiatek, unggulan pertama, melenggang ke babak keempat setelah lawannya, Camila Osorio, mundur saat tertinggal 6-0. Di sektor putra, Jannik Sinner memastikan tiket semifinal usai menyingkirkan Fabian Marozsan 6-1, 7-5.
Sementara itu, di Jepang, Carlos Alcaraz terus menunjukkan performa impresif. Petenis nomor satu dunia itu melaju ke final kesembilan berturut-turut setelah menaklukkan Casper Ruud 3-6, 6-3, 6-4, dan akan menghadapi Taylor Fritz di laga puncak.
Kekalahan Raducanu kali ini menjadi pengingat bahwa jalan menuju puncak tenis dunia bukan hanya soal teknik, tetapi juga kekuatan mental.
Jika ia ingin kembali mencetak kejayaan seperti di US Open 2021, kemampuan menutup pertandingan besar harus segera ia perbaiki. Beijing mungkin menjadi luka, tetapi juga bisa menjadi pelajaran berharga.
