Wartakaili.com – Pernahkah kamu memperhatikan, akhir-akhir ini anak jadi lebih mudah marah, sulit diam, atau tiba-tiba tantrum tanpa sebab jelas? Mungkin kamu mengira itu bagian dari fase tumbuh kembang yang biasa. Tapi coba perhatikan lagi: seberapa sering mereka menonton video pendek dari ponsel atau tablet?
Kebiasaan menonton video pendek ternyata bukan sekadar hiburan ringan. Dilansir dari The Conversation, studi terbaru yang melibatkan 1.052 anak sekolah dasar di Tiongkok (2024) mengungkap bahwa paparan video berdurasi singkat—seperti yang beredar di TikTok, Instagram Reels, atau YouTube Shorts—bisa mengganggu fungsi otak yang mengatur kemampuan anak dalam mengendalikan emosi dan fokus.
Hasilnya tidak main-main. Anak menjadi lebih impulsif, cepat gelisah, dan gampang tantrum. Para ahli menyebut kondisi ini berkaitan dengan menurunnya fungsi eksekutif pada otak—yakni kemampuan kognitif yang memungkinkan seseorang menunda kepuasan, mengatur emosi, mengalihkan perhatian, dan menyelesaikan tugas.
Fungsi eksekutif ini berkembang pesat di masa kanak-kanak hingga remaja, dan sebagian besar dikendalikan oleh lobus frontal, area otak yang berperan penting dalam pengambilan keputusan dan pengendalian diri. Saat bagian ini terganggu, anak kesulitan “mengatur rem” pada perilaku dan emosinya.
Lalu, bagaimana video pendek bisa mengacaukan sistem kerja otak anak?
Menurut teori Scene Perception and Event Comprehension (SPECT), otak manusia bekerja seperti seorang editor ketika menonton tayangan. Ia tidak hanya melihat gambar, tetapi juga berusaha memahami alur cerita dengan dua cara: pertama, memecah peristiwa menjadi potongan bermakna—misalnya “anak mulai bermain” atau “anak menangis”; kedua, menyatukan potongan itu menjadi narasi utuh yang bisa diingat.
Namun, pada video pendek yang sarat dengan potongan cepat dan transisi ekstrem, proses alami otak ini terganggu. Tayangan semacam “Italian brain rot” atau “skibidi toilet” yang sering viral di media sosial, misalnya, menampilkan visual berkecepatan tinggi, warna mencolok, dan suara berisik yang tak memberi ruang bagi otak anak untuk memproses maknanya.
Penelitian lain dalam Frontiers in Human Neuroscience (2024) juga menemukan bahwa semakin sering anak menonton video pendek, semakin rendah kemampuan fungsi eksekutifnya. Efeknya serupa dengan studi tahun 2022 yang mengamati anak-anak setelah menonton SpongeBob SquarePants hanya sembilan menit saja—hasilnya, kemampuan fokus dan kontrol diri langsung menurun.
Para ilmuwan menjelaskan, ada tiga karakter umum dalam video pendek yang membuat otak anak “kelelahan” memproses informasi:
Pertama, visual terlalu cepat dan mencolok. Transisi kilat, warna tajam, dan efek suara meledak-ledak membuat anak belum sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Kedua, pergantian adegan yang terlalu sering. Dalam hitungan detik, adegan sudah berganti tanpa konteks, membuat otak anak tidak sempat menjahit alur cerita.
Ketiga, cerita yang absurd dan tak masuk akal. Banyak video singkat bersifat tidak logis atau hiperrealistik, sehingga otak anak tak terlatih menghubungkan sebab dan akibat dengan cara yang realistis.
Gabungan dari ketiganya menciptakan efek mirip “ledakan kecil” di otak—menyajikan kesenangan instan, tetapi mengacaukan sistem kontrol dan konsentrasi. Inilah yang membuat anak mudah bosan pada aktivitas dunia nyata yang lebih lambat, seperti membaca, menggambar, atau mendengarkan cerita.
Padahal, dunia nyata menuntut kesabaran dan kemampuan menunda kepuasan—dua hal yang justru dibentuk oleh fungsi eksekutif otak. Ketika fungsi ini melemah, anak tidak hanya mudah marah atau tantrum, tetapi juga sulit belajar, cepat kehilangan fokus, bahkan bisa mengembangkan kecanduan terhadap rangsangan cepat dari layar.
Lalu, apa yang bisa dilakukan orang tua?
Langkah pertama adalah menyadari bahwa masalah ini bukan sekadar soal disiplin, melainkan soal kesehatan otak. Menegur anak karena “nakal” atau “tidak bisa diam” tidak akan banyak membantu jika akar persoalannya adalah gangguan pada cara otak memproses rangsangan digital.
Kita perlu menata ulang kebiasaan anak dalam menggunakan gawai. Batasi waktu menonton video pendek, terutama menjelang waktu tidur atau belajar, karena dua momen itu paling penting bagi konsolidasi memori dan pengaturan emosi.
Kedua, pilih tayangan dengan tempo lambat dan narasi realistis. Film anak klasik, dokumenter ringan, atau cerita bergambar dengan alur jelas akan membantu otak anak belajar mengikuti urutan sebab-akibat secara alami.
Ketiga, latih fungsi eksekutif anak lewat aktivitas nyata—seperti permainan papan (board game), bermain peran, atau permainan bergiliran yang mengajarkan menunggu dan mengendalikan dorongan. Permainan semacam ini melatih anak menunda kepuasan dan berpikir sebelum bertindak.
Keempat, ajarkan toleransi terhadap kebosanan. Biarkan anak sesekali menghadapi kebosanan tanpa harus “diselamatkan” oleh layar. Kebosanan justru bisa menjadi ruang bagi kreativitas dan kemampuan refleksi tumbuh.
Dan jika anak terus-menerus menunjukkan perilaku impulsif atau tantrum meski durasi screen time sudah dikurangi, tidak ada salahnya berkonsultasi ke psikolog anak atau psikiater. Mereka bisa membantu menilai apakah gangguan sudah berdampak pada fungsi perkembangan kognitif atau emosional yang lebih dalam.
Pada akhirnya, membangun fungsi eksekutif anak bukan tentang melarang teknologi sepenuhnya, melainkan menumbuhkan kemampuan mengendalikannya. Dunia digital memang tidak bisa dihindari, tapi kemampuan anak untuk tetap fokus, sabar, dan berpikir jernih adalah bekal utama menghadapi masa depan yang serba cepat ini.
Ketika fungsi eksekutif bekerja optimal, anak dapat menunggu giliran tanpa marah, menenangkan diri ketika kecewa, dan menikmati proses belajar tanpa perlu stimulasi instan.
Itulah investasi jangka panjang yang tidak bisa digantikan oleh hiburan sesaat dari layar. Dalam dunia yang semakin bergantung pada kecepatan dan kesenangan instan, mungkin tugas terpenting orang tua hari ini adalah membantu anak untuk pelan-pelan lagi—agar otak mereka punya waktu untuk tumbuh, berpikir, dan merasa.
