Adat Petambuli dan Bahasa Kaili Ditetapkan Pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda 2025

Prosesi adat Petambuli (Foto: Dok. pribadi Fajrin)

Wartakaili.com – Di pesta pernikahan, suara lantang dua kelompok pria bersahut-sahutan dalam bahasa Kaili. Nada mereka tegas, tapi penuh rasa hormat.

Di antara lantunan doa dan ucapan adat itu, seolah tersimpan napas panjang peradaban tua yang terus berusaha bertahan di tengah derasnya arus zaman.

Nitambuli ada na?” tanya utusan dari pihak laki-laki, dengan tangan menggenggam tombak upacara, doke, yang menjadi simbol penghormatan.

Nitambuli, jawab pihak perempuan, dengan nada yang mantap.

Begitulah sepotong dari prosesi Petambuli, sebuah adat pernikahan khas suku Kaili yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dialog ini bukan sekadar formalitas, melainkan penghormatan yang sakral—cara orang Kaili meminta izin memasuki rumah calon mempelai wanita dengan penuh tata krama dan kesantunan.

Kini, setelah sekian lama hanya hidup di ruang-ruang keluarga dan panggung-panggung budaya lokal, adat Petambuli resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2025 oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Bersama bahasa Kaili, Petambuli menjadi bagian dari 10 karya budaya yang diusulkan Provinsi Sulawesi Tengah dalam sidang penetapan WBTB yang berlangsung pada Oktober tahun ini.

Suara Leluhur yang Tetap Hidup

Dalam masyarakat Kaili, Petambuli bukan sekadar upacara penyambutan, melainkan manifestasi nilai luhur tentang penghormatan, kebersamaan, dan keseimbangan antara adat dan syariat.

Bacaan Lainnya

Prosesnya dilakukan sesaat sebelum akad nikah, dipimpin oleh topetambuli—seorang tetua adat yang fasih mengucapkan dialog dalam bahasa Kaili dengan penuh wibawa.

Sambil memegang doke—tombak adat yang melambangkan kehormatan dan tanggung jawab—ia memimpin rombongan pria menuju rumah calon pengantin wanita.

Di depan tangga rumah, dialog dimulai. Kalimat demi kalimat mengalir seperti puisi yang mengandung makna mendalam tentang kehidupan, keturunan, dan keberkahan.

“Bija tona nitambuli, kana nitambulimo”.
Keturunan orang yang ditambuli haruslah ditambuli pula,” ujar sang topetambuli.
Ucapan itu bukan sekadar simbol adat, tapi pengingat bahwa kehormatan dan tradisi harus dijaga turun-temurun.

Bagi masyarakat Kaili, Petambuli adalah cermin penghormatan terhadap perempuan dan keluarganya. Ia menegaskan bahwa perkawinan bukan hanya penyatuan dua insan, tetapi juga dua keluarga besar yang harus saling menghargai dan mengasihi.

Prosesi yang Sarat Makna

Ritual Petambuli memiliki tahapan yang jelas dan penuh simbol. Dimulai dengan kedatangan rombongan pengantin pria, disusul penyambutan oleh keluarga perempuan di depan rumah. Kemudian dilakukan dialog adat, di mana perwakilan kedua belah pihak menyampaikan maksud dan izin dengan bahasa Kaili yang puitis dan religius.

Dalam prosesi ini, hadir pula benda-benda adat seperti doke (tombak), guma (parang panjang), dan kaliavo, yang masing-masing mengandung makna tentang keberanian, tanggung jawab, dan kehormatan.

Namun, ada satu aturan penting yang dijaga ketat: doke yang digunakan tidak boleh berupa tavala atau toko, yaitu tombak berburu. Sebab, dalam adat, pernikahan bukanlah medan perburuan, melainkan jalan untuk memuliakan kehidupan.

Setelah dialog selesai dan diterima, upacara berlanjut dengan doa dan restu, sebelum akhirnya rombongan pria dipersilakan naik ke rumah untuk melaksanakan akad nikah.

Semua proses ini berlangsung dengan khidmat, disertai lantunan shalawat dan penyebutan nama-nama mulia seperti Sayidina Ali dan Sayidatina Fatimah, menandakan bagaimana Islam telah mengalir lembut dalam urat nadi kebudayaan Kaili.

Warisan yang Terjaga dari Ibu ke Anak

Salah satu hal menarik dalam adat Petambuli adalah garis pewarisannya. Tradisi ini hanya berlaku bagi mereka yang berasal dari garis keturunan yang pernah ditambuli. Jika seorang perempuan berasal dari keluarga yang tidak melaksanakan Petambuli, maka anak perempuannya pun tidak akan dikenai adat ini. Namun, bagi keturunan keluarga yang menjalankan Petambuli, adat ini wajib dijaga dan diteruskan.

Dalam narasi-narasi Petambuli, disebutkan pula struktur pemerintahan adat, No gane, yang menjadi pengingat akan tatanan sosial masyarakat Kaili di masa lalu. Setiap kalimat dalam dialognya mengandung filosofi tentang keseimbangan hidup, etika, dan kebersamaan. Di balik tutur bahasanya yang halus dan dalam, tersimpan pesan moral tentang tanggung jawab manusia terhadap sesamanya dan terhadap Tuhan.

Dari Palu ke Jakarta: Pengakuan yang Dinantikan

Penetapan Petambuli sebagai Warisan Budaya Tak Benda tahun ini menjadi kabar menggembirakan bagi masyarakat Kaili dan seluruh warga Sulawesi Tengah. Dalam sidang yang digelar oleh Kementerian Kebudayaan RI pada 10 Oktober 2025, Petambuli dan bahasa Kaili resmi dinyatakan lolos sebagai bagian dari daftar WBTB nasional.

Menurut Dr. Rahman Ansyari, Sekretaris Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, tahun 2025 ini provinsi tersebut mengusulkan 10 karya budaya dari berbagai kabupaten dan kota. Di antaranya: Momasoro dari Parigi Moutong, Sasampe dari Banggai Laut, kuliner Gata dan Momata dari Morowali Utara, tari Luminda dan Ndengu-ndengu dari Morowali, serta Bahasa Taa dan Movalia dari Tojo Una-Una.

“Dengan penetapan ini, hingga tahun 2025, total Warisan Budaya Tak Benda dari Sulawesi Tengah berjumlah 47 karya budaya,” ujarnya.

Bagi masyarakat Kaili, pengakuan ini bukan hanya penghargaan administratif, tetapi juga bentuk penguatan identitas kultural yang selama ini hidup di tengah masyarakat.

Antara Adat dan Zaman

Dalam masyarakat modern yang semakin praktis, upacara seperti Petambuli sering kali dianggap rumit atau hanya seremonial. Namun bagi warga Kaili, adat ini adalah ruang pendidikan nilai-nilai kehidupan.

Ia mengajarkan cara berbicara dengan sopan, menempatkan diri dengan hormat, serta mengingatkan bahwa setiap langkah hidup manusia—termasuk pernikahan—selalu melibatkan restu dan doa dari banyak pihak.

Seorang tetua adat di Palu, Fajrin (52), mengatakan, “Petambuli itu bukan hanya adat, tapi pelajaran hidup. Di dalamnya ada doa, tata krama, dan rasa hormat. Kalau itu hilang, kita kehilangan jati diri.”

Kini, dengan pengakuan dari pemerintah pusat, masyarakat berharap generasi muda tak lagi memandang Petambuli sebagai ritual masa lalu.

Sebaliknya, mereka diharapkan dapat mempelajari, mendokumentasikan, dan melestarikan adat ini sebagai bagian dari kebanggaan daerah.

Di tengah perubahan zaman, suara “Nitambuli ada na?” yang dulu hanya terdengar di pelataran rumah adat, kini kembali menggema—menjadi pengingat bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan, tetapi napas hidup yang terus berdenyut di dada manusia yang mencintainya.

Dan ketika topetambuli menundukkan kepala di akhir prosesi, mengucap “Tabe, tabe, tabe. Tarima miu mo ada kami,” terasa jelas bahwa yang diserahkan bukan hanya adat pernikahan, melainkan sebuah nilai luhur: penghormatan, kesantunan, dan cinta—yang akan tetap hidup selama orang Kaili masih memanggil nama leluhurnya dengan penuh hormat.


Berikut salah satu versi syair/narasi adat Petambuli:

Pengantar Pria : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Penjemput Wanita : Wa‟alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh
Pria : Natinapamo? (sudah siap)
Wanita : Natinapamo (sudah siap)
Pria : Mekutanamo kami (Bertanya sudah kami)
Wanita : Mekutanamo (silahkan bertanya)
Pria : Naria puramo tupu banua (ada semua yang punya rumah)
Wanita : Naria puramo (ada semua)
Pria : Sema sanga mombine nioreka ada hi (siapa nama perempuan dibawakan adat ini)
Wanita : (menyebutkan nama calon pengantin wanita) :
Pria : Ada sakuya nipo adakana (adat berapa)
Wanita : Ada Sanja sio (adat 9)
Pria : Nitambuli ada na (apakah ditambuli adat nya?)
Wanita : Nitambuli (ditambuli)
Pria: Nitambuli tangga?
Wanita: Nitambuli
Pria : Bija tona nitambuli, kana nitambulimo. (Keturunan orang ditambuli haruslah ditambuli pula). Bija ntope tambuli kana metambulimo. (Keturunan orang mentambuli tetaplah mentambuli pula). Ledo yaku metambuli katuvuana kampene mpene, (bukanlah kami mentambuli kehidupannya yang semakin meningkat). ledo yaku metambuli rajakina ka kava, (Bukan pula kami mentambuli rezekinya yang semakin melimpah). aga metambuli ada nipovia manusia, ada sanja sio (Tapi mentambuli adat tradisi manusia, adat 9). Ada kodi-kodi oge-oge, ane nikamu aga sanggamu, niore rabanua pasu patampasu le nalunga. (adat kecil-kecil namun besar, jika digenggam hanya segenggam, masuk ke dalam rumah penuhlah tiap sudut rumah, tidak muat). Neangga naroso narisi ante sare’a na.(Berdiri tegak kuat bersama syariatnya).
Pengantar Pria : Hipura mo tupu banua? (apakah tuan rumah sudah ada?)
Penjemput Wanita : Hipura mo (tuan rumah sudah ada semua)
Pengantar Pria : Nariamo topo njoko ada? (Apakah sudah ada penerima adat?)
Penjemput Wanita : Naria mo (sudah ada)
Pengantar Pria : Assalamu alaikum ya baburahman
Penjemput Wanita : Wa alaikum salam ya baburrahim
Pengantar Pria : Yaku mangore (sambil menyebut nama calon mempelai pria) ri watu nu reme, ri watu nu subu, ali patima (Saya mengantar (menyebut nama pengantin pria) di waktu terang benderang, di waktu Shubuh, ali patima)
Penjemput Wanita : Oremo ka kami ri watu nu reme, ri watu nu subu suruga i patima (Antar ke kamilah di waktu terang benderang, di waktu Shubuh, surganya Sitti Fatimah)
Pengantar Pria : Sanggani, ruanggani, talunggani, patanggani, limanggani, alima nggani, aono nggani, papitu, uvalu, kasasiono nggani na maliuntinuvu ngana nipovia ka ada. (satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali, delapan kali, sembilan kali, hidup rukun pasangan yang dibuatkan adat). Mobija geyra, mandate umuru na, madea rajakina. Masalama dunia na, masalama muni aherana. (Berketurunan, panjang umur, banyak rezekinya, selamat dunia akhirat). Buru-buru mai, bara-bara mai, mompene boti mompene nte rajakina, mompene nte sareana. (Naik rumah pengantin, naik bersama rezekinya, naik dengan syariatnya).
Wanita : Nur Muhammad
Pria : Siru Allah
Wanita : Siru Muhammad
Pria : Laa’ilahaillallah
Wanita : Muhammadarasulullah
Pria: Ashadualla ilahailallah
Wanita : Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah
Pria : Tabe, tabe, tabe. Tarima miu mo ada kami (Tabe, tabe, tabe. Terimalah adat kami)
Penjemput Wanita :Tabe, tabe, tabe. Ra tarima mo kami ada miu (Tabe, tabe, tabe. Kami terima adatnya komiu).

Pos terkait