Wartakaili.com —Kesedihan mendalam menyelimuti Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, setelah tragedi runtuhnya bangunan Pesantren Al Khoziny yang menewaskan sedikitnya 67 orang.
Setelah hampir sepekan proses evakuasi berlangsung tanpa henti, tim SAR akhirnya resmi menghentikan pencarian korban pada Selasa (7/10), usai memastikan seluruh reruntuhan telah dibersihkan.
Peristiwa memilukan itu terjadi pada pekan lalu, ketika ratusan santri sedang menunaikan salat asar berjamaah. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, bangunan dua lantai pesantren mendadak ambruk, menimpa puluhan santri di dalamnya.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebagian besar korban adalah remaja laki-laki berusia 13–18 tahun, yang tengah mengikuti kegiatan keagamaan sore hari.
“Operasi pencarian korban akibat runtuhnya struktur bangunan Pesantren Al Khoziny secara resmi dinyatakan ditutup,” ujar Mohammad Syafii, Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Surabaya, setelah memastikan tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan di lokasi.
Menurut data resmi yang dirilis Badan SAR Nasional (Basarnas), total korban yang berhasil dievakuasi mencapai 171 orang. Dari jumlah tersebut, 67 orang dinyatakan meninggal dunia, termasuk delapan bagian tubuh yang masih dalam proses identifikasi, sementara 104 orang lainnya berhasil selamat meski beberapa mengalami luka serius.
Syafii menambahkan, proses pencarian dilakukan dengan mengerahkan alat berat berupa ekskavator dan crane untuk mengangkat puing-puing beton besar. Tim juga menggali bagian bawah reruntuhan secara manual dan sempat memanggil nama-nama korban yang diyakini masih tertimbun, dengan harapan menemukan penyintas.
“Kami sudah menyisir seluruh area reruntuhan, memindai setiap sudut, dan sangat kecil kemungkinan masih ada korban tertinggal,” jelas Yudhi Bramantyo, Direktur Operasional Basarnas.
Dugaan Pembangunan Ilegal
Tragedi ini memicu kemarahan publik setelah polisi menemukan indikasi pembangunan ilegal di lokasi pesantren. Berdasarkan hasil penyelidikan awal, dua lantai tambahan dibangun di atas struktur semula yang hanya dirancang untuk dua lantai. Proyek tersebut dilakukan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) yang sah.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, dari lebih dari 42.000 pesantren di seluruh Indonesia, hanya sekitar 50 yang memiliki izin bangunan resmi. Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap standar keselamatan bangunan di lembaga pendidikan berbasis keagamaan.
Dalam Undang-Undang Bangunan Gedung Tahun 2002, setiap pembangunan diwajibkan memiliki izin dari otoritas terkait. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi pidana hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp8 miliar, terutama bila menyebabkan hilangnya nyawa manusia.
Polisi kini tengah memeriksa sejumlah pihak, termasuk pengawas proyek dan pengelola pesantren, untuk menentukan pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Permintaan Maaf dan Seruan Iman
Pasca tragedi, Abdus Salam Mujib, pengasuh sekaligus tokoh ulama yang memimpin Pesantren Al Khoziny, muncul ke publik dan menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada keluarga korban. Dalam pernyataannya, ia mengaku sangat berduka dan menyerahkan segala kejadian ini kepada kehendak Tuhan.
“Ini semua adalah takdir Allah. Kita harus sabar dan yakin bahwa setiap musibah membawa hikmah,” ujar Mujib dalam pernyataan singkatnya. “Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada para korban dan keluarga yang ditinggalkan.”
Meski demikian, pernyataannya menimbulkan beragam tanggapan. Sebagian masyarakat menilai permintaan maaf itu penting secara moral, namun tidak cukup tanpa pertanggungjawaban hukum yang jelas, mengingat pembangunan dilakukan tanpa izin resmi.
Luka Kolektif dan Peringatan Keras
Bagi warga Sidoarjo, tragedi ini menjadi luka kolektif yang mendalam. Banyak keluarga kehilangan anak, saudara, atau teman dalam hitungan detik. Di beberapa titik di sekitar lokasi, masyarakat memasang spanduk belasungkawa dan doa bersama sebagai bentuk solidaritas.
Tragedi Pesantren Al Khoziny kini disebut sebagai bencana bangunan terburuk di Indonesia sepanjang tahun ini. Para pakar konstruksi menilai, kasus ini harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan pengelola lembaga pendidikan untuk memperketat pengawasan terhadap kualitas bangunan dan kepatuhan terhadap izin konstruksi.
“Tragedi ini bukan hanya soal takdir, tapi juga soal kelalaian dan lemahnya tata kelola keselamatan publik,” ujar seorang analis kebijakan publik dari Universitas Airlangga, menegaskan bahwa pencegahan harus menjadi prioritas ke depan.
Sebagai penutup, keluarga korban kini berharap agar keadilan ditegakkan dan pemerintah mengambil langkah tegas agar peristiwa serupa tak terulang lagi di pesantren lain di seluruh Indonesia.
