Refleksi 7 Tahun Gempa Bumi Pasigala: Mitigasi Bencana Baru Sebatas Seremonial

Kerusakan akibat gempa dan tsunami di sekitar pesisir pantai jalan Raja Moili Palu Timur, Palu, Sabtu (29/9/2018)ANTARA FOTO/Zainuddin MN

Dalam setiap diskusi tentang bencana, terutama gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi, ada satu pertanyaan sederhana yang selalu saya lontarkan kepada peserta.

“Bayangkan, di dalam ruangan ini, saat kita sedang serius berdiskusi, tiba-tiba gempa kuat mengguncang. Kira-kira apa yang akan bapak, ibu, saudara lakukan?”

Mayoritas menjawab dengan reaksi panik: lari keluar pintu, bahkan ada yang berujar akan melompat jendela. Hanya segelintir yang menjawab akan bersembunyi di bawah meja atau melakukan langkah mitigasi sederhana lainnya.

Pertanyaan ini tampak sepele, tetapi sebenarnya menjadi cermin kegagalan kita dalam membiasakan mitigasi bencana di kehidupan sehari-hari. Padahal, kita semua tahu bahwa Palu dan sekitarnya adalah wilayah rawan.

Sesar Palu-Koro membentang tepat di bawah kaki kita, menyimpan potensi guncangan besar yang bisa datang kapan saja. Tetapi, kesadaran itu berhenti di pengetahuan, tidak pernah diolah menjadi kebiasaan nyata.

Simulasi bencana, yang seharusnya menjadi agenda rutin, hanya sesekali muncul. Dalam tujuh tahun terakhir, seingat saya hanya dua kali simulasi besar dilakukan—terakhir pada Mei 2025 lalu, bertepatan dengan Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional.

Di momen itu, pemerintah kota memang menghadirkan simulasi di kompleks kantor walikota. Walikota Palu, Hadianto Rasyid, menekankan bahwa kegiatan tersebut adalah bagian dari mitigasi untuk mengingatkan kita pada kelamnya 2018. Puluhan pegawai, aparat kepolisian, TNI, SAR, dan BPBD ikut serta.
Mereka memeragakan apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi, bagaimana koordinasi dijalin, dan bagaimana penanganan pascabencana. Di permukaan, semua tampak rapi, terstruktur, dan penuh simbol kesiapsiagaan.

Bacaan Lainnya

Namun, mari kita jujur: siapa yang sesungguhnya mendapat manfaat dari simulasi itu? Apakah masyarakat di kampung-kampung yang rumahnya berdiri di atas tanah rentan likuifaksi ikut dilatih? Apakah anak-anak sekolah, yang sehari-hari berada di bangunan rapuh, diajari cara berlindung ketika gempa datang? Atau semua berhenti pada simulasi untuk kalangan terbatas, yang digelar setahun sekali dengan sorot kamera dan liputan media, lalu dilupakan esok harinya?

Inilah yang membuat mitigasi bencana kita lebih terasa sebagai seremoni daripada kebutuhan nyata. Acara digelar dengan megah, tetapi tidak membekas sebagai keterampilan praktis. Kita lebih sibuk menjaga citra bahwa kita peduli pada mitigasi, ketimbang benar-benar membumikan kebiasaan kesiapsiagaan.

Padahal, esensi mitigasi bencana sangatlah sederhana: bagaimana masyarakat mampu mengurangi risiko, meminimalisir korban, dan menyiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk.

Mitigasi bukan tentang poster di kantor, bukan sekadar pidato pejabat, melainkan kebiasaan sehari-hari. Jika sebuah kantor rutin berlatih evakuasi, jika setiap sekolah punya jalur aman, jika setiap RT punya rencana bersama saat bencana terjadi—itulah mitigasi sesungguhnya.

Ironisnya, masyarakat di Sulawesi Tengah justru sering dibiarkan menjadi penonton dalam narasi besar mitigasi bencana. Padahal, mereka yang paling rentan dan paling membutuhkan pengetahuan praktis.

Gempa 2018 telah memberi kita pelajaran pahit: puluhan ribu rumah hancur, ribuan nyawa hilang, dan trauma yang masih membekas hingga kini. Tetapi tujuh tahun berlalu, kebijakan mitigasi belum juga menyentuh kehidupan sehari-hari orang biasa.

Lantas, apa yang membuat mitigasi kita macet? Pertama, mentalitas formalitas. Selama mitigasi hanya dianggap kewajiban administratif, hasilnya akan selalu seremonial.

Kedua, kurangnya keberlanjutan. Program mitigasi jarang dilanjutkan secara konsisten, seakan hanya penting menjelang peringatan bencana.

Ketiga, lemahnya pendekatan edukatif. Pengetahuan mitigasi tidak pernah dibumikan dengan bahasa sederhana yang sesuai karakter masyarakat.

Keempat, absennya relevansi. Banyak program dibuat tanpa memperhatikan kondisi nyata wilayah—misalnya jalur evakuasi yang dibangun tetapi tidak bisa digunakan karena terhalang bangunan liar.

Sulawesi Tengah membutuhkan mitigasi yang lebih dari sekadar seremoni. Kita membutuhkan penilaian risiko yang mendalam, pembangunan fisik yang benar-benar tahan bencana, dan—yang paling penting—pembiasaan.

Anak-anak perlu tumbuh dengan budaya kesiapsiagaan. Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan, bukan sekadar sebagai penerima informasi. Teknologi peringatan dini harus dioperasikan dan diuji secara berkala, bukan dibiarkan mati suri.

Ada satu hal yang sering terlupakan: mitigasi adalah soal keadilan. Mereka yang miskin, tinggal di rumah seadanya, atau bermukim di kawasan rawan, selalu menjadi korban terbesar.

Jika mitigasi hanya berupa seremoni di pusat kota, sementara masyarakat pinggiran dibiarkan tidak tahu apa yang harus dilakukan, maka kita sedang menciptakan jurang ketidakadilan baru.

Refleksi tujuh tahun gempa Pasigala ini mestinya menjadi alarm. Kita tidak bisa lagi menenangkan diri dengan slogan kesiapsiagaan atau seremoni simulasi tahunan.

Mitigasi harus menjadi kultur. Seperti cara orang Jepang berlatih evakuasi di sekolah, kantor, bahkan di rumah mereka—bukan karena trauma semata, tetapi karena kesadaran bahwa hidup di tanah rawan gempa berarti hidup dengan kesiapan.

Tujuh tahun bukan waktu singkat. Jika sejak 2018 kita serius membiasakan mitigasi, hari ini kita akan memiliki generasi yang tahu apa yang harus dilakukan saat bumi berguncang. Kita akan lebih tenang menghadapi ancaman karena tahu sudah menyiapkan diri. Sayangnya, kesempatan itu kita buang dengan menganggap mitigasi cukup diwakili oleh seremoni.

Hari ini, mari kita hentikan kebiasaan seremonial itu. Mitigasi bukan untuk dipamerkan di depan kamera, melainkan untuk diselamatkan dalam ingatan dan kebiasaan warga.

Pertanyaan yang saya ajukan di awal tulisan ini akan selalu relevan: apa yang akan kita lakukan ketika gempa tiba-tiba mengguncang? Jika jawabannya masih panik, berarti kita belum belajar apa-apa dari 2018.

Tetapi jika suatu saat nanti mayoritas orang bisa menjawab dengan tenang—“Saya akan berlindung, saya tahu jalur evakuasi, saya tahu harus bagaimana”—maka saat itulah kita benar-benar bisa berkata bahwa mitigasi bencana di Sulawesi Tengah bukan lagi seremoni, melainkan realitas yang menyelamatkan (ikh)

Pos terkait