WARTAKAILI.COM – Harapan baru muncul di tengah kelamnya perang Gaza ketika Hamas secara parsial menerima rencana perdamaian yang diajukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Langkah ini disambut baik oleh komunitas internasional, karena menjadi titik terdekat yang pernah dicapai dalam dua tahun terakhir menuju kemungkinan berakhirnya konflik berdarah di Jalur Gaza. Namun, di balik optimisme itu, jalan menuju kesepakatan akhir masih panjang dan penuh ranjau politik.
Para negosiator dari Israel, Hamas, faksi-faksi Palestina lainnya, serta perwakilan Amerika Serikat telah berkumpul di Kairo. Di sana, pembahasan intensif dijadwalkan dimulai pada Senin, dengan tujuan menyelaraskan perbedaan yang tersisa dalam rencana yang digagas Gedung Putih tersebut.
Dorongan politik dan momentum diplomatik tampak kuat, dengan para pemimpin Arab, Amerika, Israel, dan Palestina sama-sama menyerukan agar kedua pihak menghentikan pertumpahan darah yang telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina dan melukai sekitar 170.000 lainnya.
Angka itu, menurut banyak pihak, kemungkinan masih di bawah kenyataan karena ribuan korban masih terkubur di bawah reruntuhan. Dunia kini menahan napas, menanti apakah inilah saatnya perang yang panjang dan brutal itu benar-benar berakhir.
Rencana Trump terdiri atas 20 poin yang, di atas kertas, tampak komprehensif. Inti dari proposal itu menuntut Hamas untuk membebaskan seluruh sandera dalam waktu 72 jam, menyerahkan kendali pemerintahan Gaza kepada otoritas transnasional yang dipimpin langsung oleh presiden AS, serta melucuti seluruh persenjataannya.
Sebagai imbalannya, Israel akan menarik pasukannya secara bertahap dari Jalur Gaza dan membebaskan lebih dari 1.000 tahanan Palestina. Selain itu, rencana tersebut menjanjikan bantuan kemanusiaan besar-besaran ke Gaza—yang sebagian wilayahnya kini berada di ambang kelaparan—serta dana rekonstruksi untuk membangun kembali kawasan yang nyaris rata dengan tanah.
Namun, Hamas hanya menyetujui tiga poin utama: pembebasan sandera, penyerahan kekuasaan, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Sisanya dianggap perlu dibahas lebih lanjut bersama faksi-faksi Palestina lainnya dalam semangat “sikap nasional kolektif.”
Dengan kata lain, Hamas belum siap menyerahkan seluruh kendali negosiasi dan ingin mengatur ulang beberapa klausul, terutama yang berkaitan dengan pelucutan senjata dan jadwal pasti penarikan pasukan Israel.
Negosiasi di Kairo menjadi krusial karena akan menentukan apakah jurang perbedaan antara Israel dan Hamas dapat dijembatani. Pembicaraan ini dijadwalkan berlangsung cepat—dalam hitungan hari—karena Trump ingin hasil nyata segera terlihat.
Ia bahkan memposting peta Jalur Gaza di media sosial, menunjukkan garis penarikan pasukan Israel dan menegaskan bahwa gencatan senjata akan dimulai seketika jika Hamas menyetujui batas tersebut.
Dorongan politik Trump terlihat jelas: ia ingin menutup dua tahun konflik ini sebelum pengumuman penerima Nobel Perdamaian pada 10 Oktober—sebuah pencapaian prestisius yang, menurut banyak laporan, menjadi obsesinya.
Dari sisi Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut bahwa kesepakatan yang dapat membawa pulang para sandera Israel adalah prioritas utama dan idealnya dicapai “dalam beberapa hari.”
Namun, di balik pernyataan itu, sikap Israel masih ambigu. Netanyahu berulang kali menegaskan bahwa pasukan Israel “akan tetap berada jauh di dalam Jalur Gaza,” sebuah posisi yang bertentangan langsung dengan isi rencana Trump yang menuntut penarikan total.
Ia bahkan merilis video yang menegaskan bahwa keamanan Israel tidak akan dikorbankan, menandakan bahwa pasukan kemungkinan besar tidak akan ditarik sepenuhnya meskipun kesepakatan tercapai.
Bagi Hamas, masalah pelucutan senjata adalah titik paling sensitif. Dalam sejarah panjang perundingan, kelompok ini selalu menolak untuk meletakkan senjatanya, dan hingga kini belum ada tanda bahwa sikap itu berubah.
Meski secara prinsip menyetujui garis besar rencana Trump, Hamas menegaskan bahwa mereka hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada “pemerintahan teknokrat Palestina,” bukan otoritas internasional seperti yang diusulkan Washington. Ini menunjukkan bahwa kendati ada sinyal kompromi, kedaulatan nasional tetap menjadi garis merah yang enggan mereka lewati.
Dengan dua pihak yang sama-sama berhati-hati dan masih menyisakan ketidakpercayaan mendalam, tantangan bagi negosiator jelas tidak ringan. Amerika Serikat perlu menekan kedua belah pihak untuk mencapai kompromi, sekaligus memberi jaminan internasional yang meyakinkan bahwa setiap poin kesepakatan benar-benar akan dilaksanakan.
Bagi Hamas, ini berarti memastikan bahwa setelah pelucutan senjata, Israel tidak akan kembali menguasai wilayah Gaza dengan alasan keamanan. Bagi Israel, ini berarti memastikan bahwa ancaman terhadap warganya benar-benar berakhir dan Hamas tidak lagi mampu melancarkan serangan.
Meski demikian, sejarah perundingan sebelumnya memberikan alasan untuk bersikap skeptis. Berkali-kali negosiasi yang tampak menjanjikan berakhir dengan kegagalan mendadak, entah karena perbedaan tafsir, tekanan politik domestik, atau tindakan provokatif di lapangan.
Kedua pihak kini melangkah dengan kewaspadaan tinggi, menyadari bahwa terlalu dini untuk merayakan apa pun sebelum tinta benar-benar menempel di atas kertas perjanjian.
Apakah rencana Gaza versi Trump benar-benar akan berhasil? Jawabannya masih kabur. Rencana itu adalah upaya paling nyata dalam dua tahun terakhir untuk menghentikan perang, tetapi keberhasilannya bergantung pada sesuatu yang jauh lebih rumit daripada sekadar kesepakatan tertulis: kemauan politik.
Tanpa rasa saling percaya, tanpa jaminan keamanan yang dapat diandalkan, dan tanpa komitmen tulus dari kedua pihak untuk mengakhiri kekerasan, setiap rencana, sebaik apa pun, akan berakhir seperti sebelumnya—di tumpukan dokumen yang tidak pernah terwujud.
Kini, dunia menunggu. Di Kairo, di balik ruang rapat tertutup, nasib jutaan warga Gaza dan masa depan Timur Tengah sedang ditentukan. Optimisme ada, tetapi begitu pula skeptisisme.
Jika rencana Trump gagal seperti banyak upaya sebelumnya, maka perdamaian Gaza akan kembali menjadi janji yang tak pernah ditepati—dan perang, seperti biasa, akan terus menagih korban.



