WartaKaili.com – Enam puluh tahun yang lalu, John Bright mendirikan rumah kostum Cosprop di London dengan sebuah misi sederhana: menghadirkan pakaian film dan televisi yang lebih realistis. Bagi Bright, kostum bukan sekadar busana untuk panggung, melainkan jendela yang membawa penonton masuk ke dalam dunia lain.
“Kebenaran itu berlaku sepanjang masa,” ujarnya. Prinsip ini yang membuat Cosprop bertahan, berkembang, dan menjadi salah satu rumah kostum paling berpengaruh di industri perfilman dunia.
Kini, karya-karya ikonik Cosprop menjadi sorotan dalam pameran bertajuk Costume Couture di Fashion and Textile Museum, London Selatan. Pameran ini merayakan enam dekade perjalanan Cosprop dengan menampilkan puluhan kostum dari berbagai era. Setiap potongan kain, setiap detail jahitan, menjadi bukti bagaimana dedikasi, riset, dan keterampilan tinggi dapat menghidupkan kembali sejarah di layar kaca.
Bagi penggemar film, beberapa busana yang dipamerkan mungkin membawa nostalgia tersendiri. Siapa yang bisa melupakan kemeja basah Colin Firth dalam Pride and Prejudice (1995) yang seketika menjadikannya idola? Atau pakaian safari Meryl Streep di Out of Africa (1985) yang bahkan menginspirasi tren busana di panggung mode dunia? Ada juga kostum bajak laut lusuh yang dikenakan Johnny Depp dalam Pirates of the Caribbean, yang dibuat begitu nyata hingga seolah bisa tercium bau garam laut darinya. Semua ini lahir dari kerja teliti para perajin Cosprop yang menggunakan material dan teknik sesuai zamannya.
Keith Lodwick, kurator Costume Couture, menyebut Cosprop sebagai rumah kostum yang memberi para aktor kemampuan untuk benar-benar “berubah” menjadi orang lain. Perbedaan utama Cosprop dengan rumah kostum lain, menurutnya, adalah keteguhan untuk membuat pakaian, bukan sekadar kostum.
Ia memberi contoh serial Bridgerton yang memilih gaya kostum lebih teatrikal, dengan warna dan bentuk yang dilebih-lebihkan, sementara Cosprop justru menambatkan diri pada akurasi sejarah. Karena itulah film klasik seperti A Room With a View (1985) atau Howards End (1992) tetap terasa segar hingga kini, sebab para aktornya benar-benar mengenakan pakaian dari tahun 1900-an awal, bukan interpretasi modern.
Yang membuat pameran ini istimewa bukan hanya busana ikonik yang pernah kita lihat di layar, melainkan juga kostum yang mungkin hanya muncul sekilas di latar belakang. Misalnya gaun bertingkat dari era 1860-an yang dibuat untuk adaptasi Netflix The Leopard tahun 2025.
Meski hanya dipakai figuran, perhatian terhadap detail tetap sama telitinya. John Bright percaya bahwa penonton pantas mendapatkan pengalaman yang autentik, bahkan dalam hal kecil. “Kalau kita menonton cerita berlatar abad ke-19, kita ingin melihatnya sebagaimana adanya,” ujarnya.
Dedikasi itu juga tercermin pada teknik-teknik lama yang masih dipertahankan. Banyak metode jahitan, pembuatan topi, hingga detail manik-manik yang sudah jarang ditemukan di luar rumah mode besar seperti Dior atau Chanel, namun masih hidup di bengkel Cosprop.
Bagi Bright, menjaga warisan keterampilan ini bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi bagian penting untuk menautkan sejarah dengan masa depan. Ia bahkan menampilkan gaun duyung berhias manik dalam pameran ini, contoh bagaimana teknik tradisional bisa digunakan untuk menciptakan sesuatu yang baru tanpa kehilangan jejak historisnya.
Pameran ini juga menunjukkan bagaimana Cosprop menjadi ruang belajar bagi para generasi perajin. Setiap kelompok usia memiliki ikatan emosional dengan produksi tertentu. Para staf muda mengenang The House of Eliott dari era 1990-an, sementara yang lebih senior masih terkesan dengan A Room With a View. Hubungan lintas generasi ini memperlihatkan bagaimana kostum bukan hanya bagian dari film, tetapi juga bagian dari perjalanan hidup orang-orang yang membuatnya.
Menariknya, meski tren drama kostum sempat naik turun, permintaan terhadap karya Cosprop tidak pernah benar-benar surut. Lodwick menyebut bahwa saat ini pun adaptasi baru dari Pride and Prejudice dan Sense and Sensibility sedang digarap, begitu pula The Age of Innocence. Mungkin, kata dia, di masa penuh ketidakpastian, penonton merindukan drama berlatar masa lalu sebagai ruang pelarian—membawa kita kembali ke masa yang terasa lebih damai dan teratur.
Kekuatan Cosprop bukan hanya pada detail sejarah, tetapi pada kemampuannya membangkitkan rasa. Ketika penonton melihat pakaian yang dikenakan tokoh di layar, mereka tidak hanya melihat kostum, tetapi seolah menembus ke masa lain, merasakan kehidupan yang berbeda. Itulah mengapa karya Cosprop tetap relevan setelah enam puluh tahun: ia menghadirkan kejujuran visual, yang membuat cerita terasa hidup.
Costume Couture bukan hanya sebuah pameran, melainkan penghormatan terhadap seni yang kerap terabaikan. Kostum film sering dipandang sekadar pelengkap, padahal ia adalah bahasa visual yang menyampaikan emosi, sejarah, dan identitas.
John Bright dan tim Cosprop telah membuktikan bahwa pakaian mampu bercerita lebih dalam dari kata-kata. Dan di balik setiap jahitan, kita bisa menemukan benang merah yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan perfilman.
Dilansir dari the Guardian


