Di Ambang Damai Gaza: Yvette Cooper Serukan Dunia Hentikan Perang

Pasukan Israel menggempur Kota Gaza. Foto: Anadolu/Getty Images

Usai menghadiri pertemuan PBB, Menteri Luar Negeri Inggris, Yvette Cooper, menyuarakan secercah harapan bahwa komunitas internasional tengah berada di ambang kesepakatan damai untuk Gaza. Sebuah momen langka, rapuh, tetapi berharga—yang bisa menjadi titik balik dari penderitaan ribuan nyawa yang melayang dan krisis kemanusiaan yang kian meradang.

Dalam wawancara dengan The Guardian sebelum konferensi Partai Buruh di Liverpool, Cooper menggambarkan adanya energi baru dan tekad kolektif yang kuat untuk menghentikan perang.

“Saya merasa ada konsensus, konsensus besar yang sedang terbangun, dan ada energi nyata di PBB tentang perdamaian. Saya pikir kita telah sampai pada momen di mana dunia ingin mengakhiri perang ini,” ujarnya.

Kata-kata itu mengandung harapan, meski ia sendiri mengakui bahwa “kata-kata terasa hampa” ketika berhadapan dengan jeritan anak-anak Palestina yang menjadi wajah paling telanjang dari krisis ini.

Dukungan politik Amerika Serikat menjadi kunci. Presiden Donald Trump baru-baru ini menyiratkan bahwa kesepakatan sudah di depan mata, bahkan mengatakan “looking like we have a deal on Gaza”. Gedung Putih, bersama para diplomat, menyiapkan rencana perdamaian 21 poin yang selaras dengan resolusi PBB: tanpa pengusiran massal, tanpa aneksasi Tepi Barat, dan tanpa keterlibatan Hamas dalam pemerintahan transisi Gaza.

Namun, rencana ini juga memunculkan kontroversi, khususnya terkait wacana menempatkan Tony Blair sebagai pemimpin otoritas teknokrat sementara—sosok yang masih dipandang problematis di kawasan akibat perannya dalam invasi Irak 2003.

Cooper, yang dikenal mendorong pengakuan negara Palestina, berhati-hati menanggapi peran Blair. Ia menekankan bahwa banyak aktor dan proses diplomatik yang berjalan, dan keberhasilan akan bergantung pada keberlanjutan konsensus global. Ia juga mendesak Israel untuk “mengubah arah dengan segera,” menyebut bahwa operasi militer terbaru di Gaza tidak akan membawa keamanan bagi siapa pun, baik Israel maupun Palestina.

Bacaan Lainnya

Meski tekanan politik dari internal Partai Buruh menuntutnya menyebut tindakan Israel sebagai genosida, Cooper tetap berpegang pada sikap resmi pemerintah: penilaian itu hanya bisa diputuskan melalui proses hukum.

Baginya, fokus utama bukanlah perdebatan istilah, melainkan menghentikan perang secepat mungkin. “Setiap kali kita berbicara tentang krisis kemanusiaan atau apapun istilahnya, kata-kata itu terasa hampa, karena yang sesungguhnya terjadi adalah jeritan dan kesakitan seorang balita,” katanya lirih. “Dan itulah yang harus diakhiri.”

Kesepakatan damai ini, jika tercapai, akan dimulai dengan gencatan senjata, masuknya kembali bantuan kemanusiaan, serta pembebasan seluruh sandera. Namun Cooper tidak menutup mata bahwa proses ini rapuh, penuh rintangan, dan membutuhkan keberanian politik yang luar biasa.

“Kita tidak bisa berpura-pura ini mudah. Tetapi jelas ada tekad untuk mencoba tidak hanya menghentikan perang sekarang, tetapi juga menyiapkan rencana masa depan,” ujarnya.

Di tengah harapan damai untuk Gaza, Cooper juga menyoroti ancaman lain di Eropa: provokasi Rusia melalui penerbangan drone dan jet di atas Polandia dan Skandinavia. Ia menuding Vladimir Putin sengaja mengganggu stabilitas kawasan, sekaligus mendorong AS agar lebih keras dalam sanksi terhadap minyak dan gas Rusia.

Sejarah jarang menghadirkan momen di mana seluruh dunia berdiri di persimpangan yang sama, menatap arah yang sama. Gaza hari ini mungkin menjadi salah satu momen itu.

Pertanyaannya: apakah momentum ini akan dipegang erat, atau sekali lagi dibiarkan terlepas, menyisakan generasi baru yang tumbuh dalam reruntuhan dan kehilangan?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *