Wartakaili.com — Baru melihat line up Timnas Indonesia melawan Arab Saudi dari layar televisi, jujur, saya sudah bisa menebak akhirnya: kalah. Tidak perlu jadi pelatih profesional untuk membaca arah pertandingan malam itu.
Dalam partai hidup mati seperti kualifikasi Piala Dunia, keputusan Patrick Kluivert terasa janggal. Beckham Putra — yang pengalaman internasionalnya masih sangat terbatas — diturunkan sebagai starter. Marck Klok dibiarkan bermain penuh 90 menit meski tidak memberi pengaruh signifikan di lini tengah.
Padahal Thom Haye dan Ivar Jenner dalam kondisi fit. Entahlah, mungkin inilah cara paling cepat menghancurkan momentum perkembangan Timnas kita.
Sejak awal, saya sudah menduga keputusan menunjuk Kluivert bukan karena prestasi atau rekam jejak, tapi karena nama besar. Dalam sepak bola modern, nama besar tak selalu menjamin kualitas.
Dibandingkan era Shin Tae-yong (STY), perbedaan paling mencolok bukan pada siapa yang bermain, melainkan bagaimana tim bermain. STY berhasil meramu komposisi pemain lokal yang solid dengan disiplin taktik tinggi.
Serangan dibangun dari belakang dengan sabar dan rapi. Ketika kalah, kita tahu alasannya: lawan lebih baik. Tapi di bawah Kluivert, kita kalah bukan karena kualitas lawan semata, tapi karena kehilangan identitas permainan yang selama ini dibangun susah payah.
Pertandingan melawan Arab Saudi berlangsung dramatis dan menyesakkan. Indonesia sempat unggul lebih dulu lewat penalti Kevin Diks, tapi akhirnya menyerah 2–3.
Setelah Arab Saudi menyamakan kedudukan dan berbalik unggul, Kluivert baru bereaksi dengan memasukkan Thom Haye dan Ole Romeny di menit ke-64.
Perubahan ini memberi sedikit napas pada serangan Garuda. Kevin Diks bahkan sempat memperkecil ketertinggalan lewat penalti keduanya di menit 86. Tapi semua sudah terlambat. Waktu habis, peluang pun menguap.
Padahal momentum sebenarnya sempat terbuka. Arab Saudi kehilangan Mohamed Kanno akibat kartu merah. Namun Garuda seperti kehilangan arah. Tak ada ritme, tak ada organisasi permainan.
Bola-bola panjang asal buang jadi satu-satunya jalan keluar. Ini bukan sepak bola yang kita kenal dari Timnas beberapa tahun terakhir. Ini sepak bola yang miskin ide.
Yang paling menyakitkan bukan kekalahan itu sendiri, melainkan caranya kita kalah. Keputusan tak masuk akal terlihat sejak daftar starter diumumkan.
Yakob Sayuri yang tampil buruk dalam beberapa laga terakhir kembali diberi kepercayaan. Beckham yang minim pengalaman di laga besar justru dipasang melawan tim kuat seperti Arab Saudi.
Dean James ditarik keluar, tapi penggantinya bukan Pattynama — pemain yang lebih berpengalaman — melainkan Yance. Dan Marck Klok, yang nyaris tak memberi tekanan di lini tengah, bertahan sampai peluit akhir.
Justin Hubner bahkan sampai membuat unggahan di Instagram Story usai laga: “Kita semua bisa setuju siapa yang seharusnya ada di lapangan.”
Kalimat pendek itu berbicara banyak. Ia bukan sekadar luapan emosi, tapi sinyal ada yang tidak beres di ruang ganti. Ketegangan mulai terasa. Ketika pemain kehilangan kepercayaan pada pelatih, itu tanda bahaya paling nyata.
Banyak orang bertanya-tanya: kenapa Patrick Kluivert dipilih menggantikan Shin Tae-yong, padahal tim sedang dalam jalur positif? Tidak ada urgensi. Tidak ada alasan kuat.
Klaim bahwa staf kepelatihan ini adalah “yang terbaik yang pernah kita punya” terdengar seperti candaan pahit. Kluivert mungkin nama besar di masa lalu, tapi pengalaman melatihnya tidak sebanding dengan ekspektasi besar publik Indonesia. Mengandalkan reputasi masa lalu bukan strategi membangun masa depan.
Sementara itu, jadwal kualifikasi masih panjang. Secara matematis, peluang Indonesia untuk lolos belum sepenuhnya tertutup. Tapi sepak bola bukan sekadar hitungan angka di klasemen. Ini soal arah, soal fondasi permainan.
Ketika pelatih kehilangan pegangan taktik, ketika pemain kehilangan kepercayaan, ketika suporter kehilangan keyakinan, maka mimpi ke Piala Dunia 2026 mulai berubah jadi utopia.
Pertandingan melawan Irak pada Minggu dini hari mungkin akan jadi laga krusial. Tapi tanpa perubahan nyata, hasilnya bisa ditebak. Kita sedang mengulang pola lama: membangun mimpi tinggi, lalu merobohkannya sendiri.
Padahal, beberapa tahun terakhir, Timnas Indonesia bukan hanya membangun prestasi, tapi juga harapan. STY berhasil menanamkan keyakinan bahwa Garuda bisa bertarung sejajar. Kini, semua itu terasa seperti perlahan diruntuhkan.
Ini bukan tentang membenci Kluivert sebagai individu. Ia legenda sepak bola dunia, dan tidak ada yang menyangkal itu. Tapi menjadi pelatih tim nasional bukan soal popularitas.
Ini soal memahami karakter tim, menghormati fondasi yang sudah ada, dan meramu strategi yang sesuai. Kluivert datang dengan ide besar, tapi tampak belum benar-benar mengenal tim yang ia tangani.
Sepak bola Indonesia tidak boleh terus-menerus jadi korban keputusan tergesa-gesa. Kita butuh pelatih yang membangun, bukan sekadar numpang nama.
Butuh pelatih yang bekerja dari hati, bukan hanya dari pinggir lapangan dengan senyum penuh percaya diri. STY pernah menunjukkannya — bukan dengan kata-kata, tapi dengan hasil.
Mungkin inilah momen refleksi. Saat kita berhenti menaruh harapan pada sosok semata dan mulai kembali mempercayai proses. Kalau Patrick Kluivert tidak bisa mengembalikan arah permainan Timnas, maka tak ada salahnya mengakui kesalahan lebih awal daripada membiarkan mimpi ini mati perlahan.
Piala Dunia 2026 masih jauh. Tapi jika ini arah yang dipilih, maka ucapan “selamat tinggal” rasanya sudah mulai terdengar hari ini.
Bukan karena kita tak punya pemain hebat. Bukan karena kita tak punya suporter setia. Tapi karena kita kehilangan kompas — dan sang nahkoda belum tahu ke mana harus berlayar.***






