Nelayan Tondo Lawan Privatisasi Pantai oleh Anggota DPR RI

Aktivitas pembangunan pagar Guest House milik anggota DPR RI di kawasan pesisir Pantai Uwe Salura, Kelurahan Tondo, Kota Palu, Rabu (1/10/2025). (Foto: Istimewa/Channel Sulawesi)

WARTAKAILI.COM – Ketegangan antara kelompok nelayan dengan pemilik Guest House di pesisir Pantai Uwe Salura, Kelurahan Tondo, Kota Palu, kembali memanas.

Akar persoalan bermula dari pembangunan pagar dan pondasi di kawasan pesisir oleh pemilik Guest House yang diketahui merupakan anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sulawesi Tengah.

Langkah ini ditolak keras oleh para nelayan setempat karena dinilai mengancam akses mereka terhadap laut serta melanggar aturan tata ruang wilayah pesisir.

Puncak penolakan terjadi saat para nelayan mendapati aktivitas pembangunan terus berlanjut hingga tanggal 1 Oktober 2025, meski sebelumnya mereka telah menyampaikan keberatan dalam mediasi bersama aparat kelurahan. Para nelayan menganggap proyek tersebut bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi bentuk perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.

Mustika Sari, pembina Kelompok Nelayan Saongu Lara, menjadi salah satu sosok yang paling vokal menyuarakan penolakan ini. Ia menegaskan bahwa pantai bukan milik perseorangan, melainkan ruang hidup bersama yang semestinya dijaga untuk kepentingan masyarakat luas.

“Pantai adalah ruang hidup bersama, bukan untuk diprivatisasi,” tegas Mustika, dikutip dari laman Channel Sulawesi pada Rabu (1/10/2025).

Ia menjelaskan bahwa pembangunan pagar tersebut telah melanggar sejumlah regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 yang secara eksplisit mengatur sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi harus diperuntukkan bagi kepentingan umum, konservasi, dan mitigasi bencana.

Bacaan Lainnya

Selain itu, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga melarang adanya privatisasi wilayah pesisir yang bersifat sewenang-wenang.

Bagi nelayan Tondo, wilayah pesisir bukan sekadar lanskap alam, melainkan bagian integral dari kehidupan mereka sehari-hari. Di sanalah mereka memarkir perahu, menjemur hasil tangkapan, serta menjalin interaksi sosial antarwarga.

Dengan dibangunnya pagar yang membentang di sepanjang bibir pantai, mereka khawatir akses terhadap laut akan terputus dan ruang gerak menjadi terbatas. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengancam keberlangsungan mata pencaharian yang telah dijalani secara turun-temurun.

Kekhawatiran masyarakat semakin besar karena pihak pemilik Guest House tak menggubris keberatan yang telah diajukan dalam berbagai kesempatan, baik secara lisan maupun melalui pertemuan formal.

Proses pembangunan terus berlanjut seolah tidak ada hambatan hukum maupun norma sosial yang berlaku. Hal ini menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan nelayan yang merasa hak mereka sebagai warga negara diabaikan oleh penguasa.

“Yang kami minta sederhana saja, tegakkan aturan yang ada. Jangan karena beliau anggota DPR RI lalu aturan bisa dilanggar seenaknya. Kami ini rakyat kecil, tapi kami punya hak atas laut dan pesisir,” tambah Mustika.

Nelayan mendesak pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Palu dan instansi terkait di tingkat provinsi, untuk bertindak tegas menegakkan aturan tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir. Mereka berharap tidak ada lagi pembiaran terhadap pembangunan yang berpotensi merugikan masyarakat secara luas demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Penolakan terhadap pembangunan pagar ini bukan semata-mata bentuk penolakan terhadap investasi atau pembangunan fisik, tetapi sebagai seruan untuk keadilan ruang dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat pesisir. Ketika pembangunan tidak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, serta dilakukan tanpa partisipasi aktif warga, maka konflik semacam ini sangat mungkin terus terjadi.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak pemilik Guest House maupun respons dari instansi pemerintah terkait. Sementara itu, kelompok nelayan menyatakan akan terus mengawal isu ini dan tidak akan mundur sebelum pemerintah memastikan bahwa aturan hukum ditegakkan secara adil dan tidak diskriminatif, tanpa pandang jabatan atau kekuasaan.

Sumber: Channel Sulawesi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *