Warta Kaili – Bergerak itu baik, dan tubuh kita memang dirancang untuk itu. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan sebaliknya. Di tengah derasnya arus digitalisasi, gaya hidup malas gerak atau mager justru semakin marak.
Anak-anak betah duduk berjam-jam di depan gawai, sementara ruang publik untuk bermain semakin menyempit. Akibatnya, penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, dan penyakit jantung kian meningkat, bahkan pada usia muda.
Data WHO tahun 2024 mencatat, 70% kematian usia dewasa muda secara global disebabkan oleh penyakit tidak menular. Angka itu mengkhawatirkan, dan gaya hidup pasif menjadi salah satu biang keladinya.
Padahal, anak-anak generasi sebelumnya tumbuh dengan tradisi bergerak. Permainan tradisional seperti petak umpet, bentengan, lompat tali, atau engklek, membuat tubuh terlatih berlari, melompat, dan berinteraksi.
Tanpa disadari, permainan itu bukan sekadar hiburan, melainkan “olahraga” alami yang memperkuat otot, melatih koordinasi, dan menjaga kebugaran. Kini, permainan semacam itu mulai tergeser. Generasi digital lebih memilih gim online yang serba instan, menarik, dan bisa dimainkan di mana saja tanpa harus keluar rumah. Sialnya, dampaknya justru membuat tubuh makin pasif.
Mengapa bergerak itu penting? Dari perspektif antropologi ragawi, manusia adalah makhluk yang berevolusi untuk beraktivitas fisik. Tubuh kita terbentuk untuk berjalan, berlari, memanjat, dan bekerja dengan tangan maupun kaki.
Bila fungsi alami ini tidak digunakan, maka tubuh perlahan melemah. Otot menjadi kaku, daya tahan menurun, bahkan postur tubuh manusia modern bisa berubah menjadi lebih rapuh. WHO sendiri menganjurkan anak-anak beraktivitas fisik minimal 60 menit per hari.
Tetapi kenyataan di lapangan, banyak anak justru menghabiskan waktunya dengan duduk diam menatap layar. Situasi ini, bila dibiarkan, bisa memicu krisis kesehatan sekaligus krisis fisiologis lintas generasi.
Namun, tentu tidak mudah mengembalikan permainan tradisional di era digital. Masalah ruang publik yang terbatas, polusi kota, hingga stigma bahwa permainan tradisional itu kuno, menjadi tantangan tersendiri.
Tapi bukan berarti mustahil. Permainan tradisional bisa dikemas ulang agar relevan dengan zaman. Misalnya, kampus bekerja sama dengan komunitas budaya untuk mengadakan “Pekan Momore” di ruang publik, atau pemerintah kota menyiapkan ruang terbuka hijau untuk anak-anak bermain.
Sekolah juga dapat menjadikannya ekstrakurikuler, agar anak-anak terbiasa bermain sekaligus belajar bergerak. Ketika orang tua ikut terlibat—mengenang masa kecil dengan mengajak anaknya bermain gobak sodor di rumah—maka benang tradisi itu bisa tersambung kembali.
Gerakan ini bukan semata nostalgia. Ini soal kesehatan, produktivitas, dan masa depan generasi. Bonus demografi yang kerap dibanggakan tidak akan ada artinya bila anak muda sakit-sakitan sejak dini.
Intervensi murah meriah seperti bermain engklek atau lompat tali, bisa menjadi pondasi bagi bangsa yang sehat. Kita tidak mungkin melarang anak menyentuh gawai, tetapi kita bisa menyeimbangkannya dengan aktivitas fisik yang menyenangkan.
Permainan tradisional adalah warisan yang relevan: sehat, ramah lingkungan, murah, dan mempererat ikatan sosial. Mengajak anak-anak kembali bergerak bukanlah kemunduran, melainkan cara paling manusiawi untuk melindungi masa depan mereka.
Bergerak itu baik, dan permainan tradisional memberi alasan yang indah untuk melakukannya.






