Wartakaili.com – Seruan boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel semakin sering menggema di berbagai ruang publik, terutama di media sosial.
Namun di balik semangat solidaritas itu, banyak masyarakat justru dilanda kebingungan: mana produk yang benar-benar terlibat dalam mendukung agresi Israel, dan mana yang hanya terseret isu tanpa dasar kuat.
Menjawab kebingungan itu, sejumlah ulama, akademisi, dan aktivis pro-Palestina berinisiatif merumuskan panduan praktis agar gerakan boikot berjalan terarah dan adil. Panduan ini membagi produk ke dalam empat kategori—dari yang wajib dihindari hingga yang dianjurkan untuk didukung.
Upaya ini menjadi tindak lanjut konkret dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina, yang menegaskan larangan bagi umat Islam untuk memberikan dukungan, langsung maupun tidak, terhadap agresi Israel.
Aktivis pro-Palestina Shafira Umm menilai kehadiran panduan ini sangat penting di tengah maraknya informasi simpang siur.
“Masyarakat sering bingung, mana produk yang benar-benar terafiliasi dan mana yang cuma isu. Karena itu, panduan seperti ini sangat krusial agar gerakan boikot tidak salah sasaran,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi, dikutip dari Kompas.
Kebingungan masyarakat memang beralasan. Dalam beberapa kasus, sebuah produk sempat diboikot karena isu yang ternyata keliru. Ada juga perusahaan nasional yang turut terkena imbas karena misinformasi yang beredar luas tanpa verifikasi.
Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya solidaritas ekonomi bagi Palestina semakin tumbuh, termasuk di kalangan muda.
Ketua MUI Bidang Dakwah, KH Cholil Nafis, menilai fenomena itu sebagai hal positif yang perlu diarahkan dengan bijak.
“Anak-anak kecil sekarang kalau mau beli produk pada ngecek—ini produk Israel atau bukan. Ini menunjukkan ada kesadaran baru yang perlu kita arahkan dengan panduan yang jelas,” ujarnya.
Dukungan teknologi turut mempercepat gerakan ini. CEO Drone Emprit, Ismail Fahmi, menjelaskan bahwa kini sudah tersedia berbagai aplikasi dan platform digital yang membantu konsumen melacak afiliasi produk.
“Di media sosial, tren boikot ini sangat kuat. Bahkan sudah ada aplikasi yang memungkinkan masyarakat mengecek keterlibatan perusahaan dengan entitas Israel secara langsung,” katanya.
Langkah ini kemudian dirumuskan lebih sistematis oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI). Wakil Ketua Umum DMI, Imam Addaruqutni, memaparkan empat kategori produk yang menjadi acuan dalam panduan tersebut. Kategori ini disusun berdasarkan tingkat keterlibatan perusahaan dengan sistem penjajahan dan agresi Israel terhadap Palestina.
Kategori pertama adalah haram, yakni produk atau perusahaan yang terlibat langsung dalam mendukung Israel—baik melalui investasi, kepemilikan, maupun kerja sama strategis. Produk dalam kategori ini wajib diboikot oleh masyarakat.
Kategori kedua berstatus makruh, yaitu produk yang memiliki hubungan tidak langsung, misalnya sebagai anak perusahaan, distributor, atau mitra dari entitas yang mendukung Israel. Produk dalam kategori ini sangat dianjurkan untuk dihindari.
Kategori ketiga disebut mubah, mencakup produk dari perusahaan nasional yang terbuka dan tidak memiliki keterlibatan dengan Israel, meskipun sebagian kecil sahamnya mungkin dimiliki oleh investor asing di bawah lima persen. Produk dalam kategori ini boleh dikonsumsi masyarakat.
Adapun kategori keempat berstatus sunnah, yang mencakup produk lokal murni hasil usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sama sekali bebas dari afiliasi Israel. Produk ini justru dianjurkan untuk dibeli sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi rakyat dan kemandirian bangsa.
“Dengan adanya panduan ini, masyarakat bisa bergerak dengan lebih terarah. Tujuannya bukan sekadar menolak produk terafiliasi Israel, tetapi juga melindungi dan memperkuat produk nasional dari potensi boikot yang tidak berdasar,” terang Imam Addaruqutni.
Ia menambahkan, langkah ini juga membuka jalan untuk menjadikan boikot sebagai gerakan ekonomi yang produktif. Dengan beralih ke produk dalam negeri, publik tak hanya menyalurkan empati pada rakyat Palestina, tetapi juga memperkuat ekonomi bangsa sendiri.
Gerakan boikot kini bukan lagi semata ekspresi emosional, melainkan upaya sadar untuk membangun perilaku konsumsi yang lebih etis. Ketika masyarakat mulai peduli pada asal-usul produk yang dibeli, nilai-nilai keadilan sosial dan solidaritas kemanusiaan ikut tumbuh di dalamnya.
Bagi sebagian orang, memilih produk mungkin tampak sebagai tindakan kecil. Namun dalam konteks global, langkah-langkah kecil yang dilakukan secara kolektif dapat membawa pengaruh besar.
Dengan panduan yang jelas, gerakan boikot diharapkan tidak lagi menimbulkan salah sasaran atau ketegangan sosial, melainkan menjadi bentuk nyata dari kepedulian yang cerdas, damai, dan bermartabat.
Seperti dikatakan Imam Addaruqutni, “Boikot ini bukan hanya tentang menolak, tetapi juga tentang membangun. Dengan membeli produk lokal dan UMKM, kita bukan sekadar berempati kepada Palestina, tapi juga memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia sendiri.”
Dengan arah baru yang lebih sistematis, gerakan solidaritas untuk Palestina kini bertransformasi menjadi gerakan ekonomi rakyat—lebih bijak, lebih tepat sasaran, dan lebih berdaya bagi sesama.






