Wartakaili.com – Di tepi hutan bakau Lembanato, suara burung camar bersahut dengan kicau Kureu dan Kokolo’o, burung endemik Kepulauan Togean.
Riak air pasang menjilat akar-akar mangrove yang menjulang seperti jari raksasa dari lumpur laut. Dari kejauhan, asap putih mengepul dari tungku tanah liat, menandai satu tradisi tua yang nyaris terlupakan: pembuatan garam dari akar bakau, atau Bure nu Bakat dalam bahasa Bobongko.
Di sanalah Naning Bakir, perempuan 65 tahun, duduk di depan tungku dengan tangan berlumur abu. Setiap pagi, ia memikul kayu bakar dan menyalakan api kecil yang sabar. Asapnya membawa aroma asin dan lembap, menempel di rambut dan kulit.
“Kalau cuma dengar cerita, orang bisa lupa,” ujarnya sambil mengaduk larutan hitam kecokelatan. “Tapi kalau sudah cium asap bakau, rasa asin ini akan melekat selamanya.”
Menjaga Warisan di Tengah Pasang
Di Kampung Lembanato, hidup berjalan dengan ritme yang pelan dan pasti. Fajar datang bersama kokok ayam dan suara adzan dari surau kecil di tepi kampung. Petani berangkat ke ladang, nelayan menyiapkan jaring, sementara anak-anak berlarian di dermaga kayu, menantang cahaya pagi dengan tawa yang jernih. Di sela kesibukan itu, Naning memilih jalannya sendiri: menapak hutan bakau dengan parang kecil, mencari akar yang siap diolah menjadi garam.
Ia tak pernah mengambil sembarangan. “Kalau kita serakah, ambil semua bakau tanpa pikir panjang, laut akan marah. Ikan pergi, pantai rusak, kita juga yang rugi,” katanya, mengulang nasihat orang tuanya. Prinsip sederhana itu menjadi fondasi pengetahuan ekologis yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Bobongko.
Naning mulai belajar membuat garam sejak usia 16 tahun. Ia selalu membantu ibunya di dapur, menyaksikan bagaimana akar bakau yang dibakar menghasilkan cairan pekat beraroma laut.
“Sepulang sekolah, tangan saya sudah bau lumpur dan asap bakau,” kenangnya sambil tersenyum kecil. Dari ibunya pula, ia belajar bahwa kerja keras bukan sekadar kewajiban, melainkan bentuk cinta pada alam dan kehidupan.
“Ibu selalu bilang, garam ini bukan hanya untuk dapur, tapi juga untuk hidup. Jangan sampai hilang.”
Pantangan dan Doa dalam Asap
Tradisi membuat Bure nu Bakat tak hanya soal teknik, tetapi juga sarat pantangan dan etika. Salah satunya, garam tidak boleh dibuat ketika warga sedang menanam padi atau jagung.
“Kalau dilanggar, tanaman bisa gagal berbuah,” jelas Naning. Keyakinan itu menjadi pengingat agar manusia tidak melupakan keseimbangan antara alam dan pekerjaan tangan.
Dalam setiap prosesnya, Naning tidak bekerja sendiri. Kadang, anak-anak perempuan kampung duduk di dekat tungku, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Ia membiarkan mereka mencium aroma asap, mendengar suara kayu terbakar, dan merasakan butiran asin yang mulai terbentuk.
“Kalau hanya dengar cerita, besok bisa lupa,” ujarnya lembut. “Tapi kalau sudah cium asap, rasa asin itu akan tinggal di hati. Ilmu itu harus dirasakan, bukan dihafalkan.”
Namun, menjadi penjaga tradisi di era modern bukan perkara mudah. Garam pabrikan yang murah dan praktis membuat banyak orang melupakan Bure nu Bakat. Tak ada lagi generasi muda yang rutin belajar membuatnya. Meski begitu, Naning tidak putus asa.
“Kadang saya buat garam hanya sedikit, untuk keluarga. Tapi kalau ada satu anak saja mau belajar, tradisi ini akan hidup lagi. Jangan biarkan Bure nu Bakat jadi cerita. Harus tetap jadi kehidupan,” katanya tegas.
Garam yang Menyimpan Sejarah
Setiap butir garam yang dihasilkan Naning bukan sekadar bumbu dapur. Ia adalah kristalisasi pengetahuan, sejarah, dan cinta pada alam. Dalam setiap prosesnya, tersimpan doa dan penghormatan terhadap laut serta hutan bakau. Di tengah isu krisis lingkungan dan rusaknya pesisir akibat alih fungsi lahan, kearifan lokal seperti ini justru menjadi pelajaran penting.
“Kalau saya lihat garam putih itu, rasanya seperti lihat leluhur kami,” ucap Naning pelan, menatap hasil jemuran garam di wadah anyaman bambu.
“Di situ ada doa, ada kerja keras, ada cinta pada alam. Itu sebabnya garam ini bukan cuma asin, tapi juga punya rasa hidup.”
Proses yang Sarat Makna
Menurut catatan dalam buku Pengetahuan Tradisional dan Tradisi Pengobatan Mombolian di Kepulauan Togean Kabupaten Tojo Una-Una—karya yang difasilitasi oleh Dana Indonesiana Kementerian Kebudayaan dan LPDP—suku Bobongko masih membuat garam sendiri untuk konsumsi keluarga.
Prosesnya dimulai dari pembakaran akar bakau yang telah dipilih dengan cermat. Jenis akar yang digunakan adalah akar nafas dari dua jenis bakau: Wakatan Bambar dan Wakatan Lolap, dari keluarga Rhizophora sp. Akar inilah yang menyerap air laut dan mineral dari lumpur, menghasilkan rasa asin yang khas.
Hasil pembakaran akar itu kemudian disaring, dan airnya ditampung dalam wadah dari kulit sagu berbentuk kubus. Cairan tersebut dijemur di bawah sinar matahari selama tiga hingga empat hari, tergantung cuaca. Setelah kering, terbentuklah garam padat berbentuk kubus—hasil kerja tangan, matahari, dan waktu.
Jika wadah yang digunakan berbentuk belanga, garam pun akan berbentuk belanga. Bentuknya sederhana, tapi bagi masyarakat Bobongko, tiap potong garam itu adalah lambang hubungan antara manusia, laut, dan leluhur.
Garam untuk Rumah Sendiri
Menariknya, Bure nu Bakat tidak dijual dan tidak disajikan untuk tamu. Ia hanya digunakan oleh keluarga Bobongko sendiri. Garam pabrikan dipakai untuk makanan tamu, sementara garam bakau disimpan untuk masakan keluarga—simbol keintiman dan identitas.
Cara pemakaiannya pun unik: garam dicelupkan langsung ke belanga berisi sayur atau kuah, lalu digantung kembali menggunakan wadah rotan di dapur. Satu bongkah garam bisa digunakan hingga setahun atau lebih, membuat proses pembuatannya jarang dilakukan.
Dahulu, pembuatan garam bakau dilakukan secara gotong royong setelah panen padi ladang. Seluruh warga akan berkumpul di Teluk Kilat, membawa kayu bakar dan bahan bakau, lalu bersama-sama membuat garam untuk persediaan musim tanam berikutnya.
Namun sejak pertanian ladang digantikan oleh perkebunan monokultur, tradisi itu perlahan hilang. Kini, hanya segelintir orang seperti Naning Bakir yang masih setia menjaga pengetahuan leluhur tersebut.
Jejak yang Mulai Menipis
Suku Bobongko kini hanya berjumlah sekira 4.000 jiwa, tersebar di tujuh desa di Kepulauan Togean, termasuk Lembanato, Matobiai, Baulu, Titiri’i Popolian, Tumbulawa, Patoyan, dan Lindo. Hutan bakau yang mengelilingi Teluk Kilat masih berdiri, tetapi tak seramai dulu. Banyak anak muda memilih pergi ke kota, bekerja di sektor pariwisata atau tambang.
Bagi Naning, itu bukan sekadar kehilangan tenaga, tapi kehilangan cerita. “Kalau anak-anak lupa aroma asap ini,” katanya sambil menunjuk tungku yang masih mengepul, “mereka juga akan lupa bagaimana caranya menghormati laut.”
Asin yang Mengikat Ingatan
Menjelang sore, matahari merunduk di balik pucuk mangrove. Naning menata garam hasil jemurannya di atas tampah bambu. Butiran garam itu berkilau disinari cahaya jingga, seperti permata kecil di tangan yang renta. Ia menatapnya lama, seolah menatap masa lalu dan masa depan sekaligus.
“Bure Nu Bakat bukan hanya garam,” ujarnya perlahan. “Ia adalah cara kami mengingat siapa diri kami. Selama masih ada yang mau membuatnya, laut dan leluhur akan tetap dekat dengan kita.”
Dan di tengah dunia yang semakin cepat melupakan, garam dari akar bakau itu tetap menyimpan sesuatu yang tak berubah: rasa asin kehidupan, yang tumbuh dari kesetiaan dan cinta pada alam.
🟢 Catatan Redaksi: Artikel ini diadaptasi dari naskah buku Pengetahuan Tradisional dan Tradisi Pengobatan Mombolian di Kepulauan Togean Kabupaten Tojo Una-Una, dengan fasilitasi Dana Indonesiana, Kementerian Kebudayaan, dan LPDP Kementerian Keuangan RI.






